
JawaPos.com- Bojonegoro, Jawa Timur, termasuk kabupaten terkaya di Indonesia. Nomor dua di bawah Kabupaten Bogor. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun ini menembus angka Rp 7,4 triliun.
Jika Brunai Darussalam dikenal sebagai negara Petrodolar di Asia Tenggara berkat kekayaan minyak, pun begitu dengan Bojonegoro. Daerah ini bisa disebut ’’kabupaten Petrodolar’’.
Setiap tahun, dana bagi hasil (DBH) lebih dari Rp 1 triliun mengalir ke Bojonegoro. Bukan hanya paling banyak di Provinsi Jatim. Namunn paling tinggi se-Indonesia. Bahkan, pada 2022 lalu, mencapai Rp 1,5 triliun.
Kendati begitu, sejauh ini kabupaten Petrodolar itu masih menyisakan kampung terbelakang. Salah satunya Dusun Bunten, Desa Tondomulyo, Kecamatan Kedungadem. Kampung pedalaman yang lokasinya berbatasan dengan tiga daerah. Yakni, Lamongan, Jombang, dan Nganjuk.
Menuju ke kampung itu mesti tanpa alas kaki. Sebab, sulit kalau mengenakan sandal. Akses tanjakan dan turunan. Melewati perbukitan. Pembangunan jalan tampak belum rampung. Motor mesti terparkir jauh. Lalu, melanjutkan perjalanan dengan berjalanan kaki. Waktu tempuhnya sekitar 1,5 jam.
Dusun sederhana, kalau tidak disebut miskin. Rumah-rumah warga berdinding bambu. Berlantai tanah liat. Rata-rata warga menyambung hidup dengan makanan hasil alam mereka sendiri. Bertani dan beternak.
Menurut warga setempat, Bunten merupakan singkatan dari timbunan inten (intan). Bisa jadi, kawasan perbukitan itu memang benar menyimpan potensi sumber daya alam itu. Namun, tentu butuh penelitian.
Yang jelas, Bunten berbeda dengan dusun-dusun lainnya di Bojonegoro. Bukan hanya akses jalannya, melainkan juga aspek lain. Mulai kesehatan, pendidikan, ekonomi, sumber air, agama, dan lainnya.
Akses jalannya buruk. Tak seperti di kampung lain yang sudah banyak dibeton. Ambulans dipastikan tidak bisa masuk. Jadi, andaikan ada warga butuh pertolongan darurat, kerepotan. Saat ada warga sakit parah, mesti ditandu dulu. Jauh hingga keluar dusun. Baru dioper kendaraan roda empat.
Pendidikannya pun memprihatinkan. Warga hanya rata-rata tamatan SD. Di Bunten, ada SD Tondomulo III. Hanya, dua ruang kelas. Itupun sering memulai pelajaran molor. Baru mulai pukul 08.30 WIB. Semua memaklumi. Akses jalan yang buruk dan jauh, membuat guru dan siswa datang terlambat.
Anak-anak memilih tidak lanjut ke SMP. Kalau melanjutkan SMP, harus ke sekolah di Kecamatan Kedungadem. Jaraknya sangat jauh. ‘’Siswa harus berangkat pukul 04.00 pagi dan jalan kaki selama 1,5 jam untuk keluar dusun,’’ tutur Ahmad Hauyul Abadi, warga Bunten yang belajar di SMK Dirgahayu Kedungadem, kepada Jawa Pos Radar Bojonegoro.
Mayoritas warga Bunten adalah petani. Namun, jangan sangka seperti petani umumnya. Mereka kerap kali berlapang dada karena serangan binatang-binatang seperti babi hutan, monyet, dan rusa. Begitu panen pun harus membayar kuli angkut. Untuk menjual hasil panennya keluar kampung.