Sajak: Hujan di Hari Imlek

78

Jiu

 

Jiu,

bermacam bunga bakung telah

kau persembahkan pada perayaan bait merah

bekal melumpuhkan gelap

dan mengempiskan rencana jahat.

 

Darahmu telah suci dari pemberian nama

yang disiapkan bagi kejayaan

tapi ada tetua-tetua suka mengutuk budak

memakainya sebagai domba aduan.

Kau tetap berusaha melepas tulah

dari kuasa yang dilumuri kotoran.

 

Jiu,

puluhan lampion dan serenteng petasan

telah semarak di halaman rumahmu

tapi matamu masih menangkap keparat.

Nian-Nian jenis baru bermunculan

serupa teluh yang kerasnya seperti

tembok-tembok tinggi mengelilingi taman.

 

Hari ini masih terjadi, terjungkalnya

kemurnian karena kau lebih dulu

diculik kaum fuerdai

menjauhkanmu dari suara alam.

Teras belum surut dari malapetaka

mengancam jiwa-jiwa lugu karena begundal

jelmaan tetua-tetua sesat akan

menjadi algojo dengan modal harga darah.

 

Karanganyar, 2023

Januari 2023

 

Pekan keempat Januari

tahun ini, aku mendapati

matamu mulai

berhenti menangis, aku

melihat danau yang selama

ini bisu, kini memantulkan

lukisan awan memutih

menyerupai burung-burung

pipit yang siap menyusun

cerita baru tentang berkah.

 

Dari balik bukit, para

petualang menyaksikan api

berbentuk naga di tubuhmu

sementara matamu

tetap seperti ranu yang kali ini

tidak hanya menenangkan

tetapi air mata itu bisa

menenggelamkan

segala laku rakus

 

Orang-orang ingin dekat

denganmu menjaga kesucian

karenanya meski hari berlalu

kerap berteman hujan

tapi mereka tak pernah lupa

menyediakan kayu bakar

sejak musim kemarau lalu

 

Pada akhir Januari

kuncup mei hwa mulai mekar

aku telah mencium harumnya

mengalahkan busuk bangkai

akibat kesalahan masa silam.

 

Karanganyar, 2023

Hujan di Hari Imlek

 

Tak perlu kita keluhkan ketika hujan mengguyur lampion perayaan, karena basah itu menandakan suburnya pengertian kita pada aneka kuncup jeruk untuk meluruhkan daki, melumat niat buruk, dan meneguhkan arah menuju bening udara.

 

Tak perlu kita sesalkan ketika perjalanan barongsai menuju balai-balai terhalang genangan air, karena rintangan itu akan menebalkan perhatian kita pada masa panen, menghalau murka Nian, dan mengamankan jiwa leluhur.

 

Tak perlu kita risaukan ketika anak-anak hanya mendapat sedikit angpao, karena warna merahnya tidak akan luntur oleh air mata hingga kita tetap merawat rindu di belahan jantung, menguras keruh di pikir, dan menjaga tunas yang sudah selayaknya bersemi.

 

Karanganyar, 2023

Nasihat Leluhur

 

Shang telah bergerak sebelum tahun-tahun

dicatat sebagai awal ritual pengorbanan

mengangkat nama dewa di setiap akhir musim

wujud persembahan hasil panen.

 

Dengan gigi taring, Nian siap merampas segala

orang-orang menaruh makanan di depan pintu

agar Nian tak masuk rumah merebut kuasa.

 

Datang nasihat leluhur, Nian takut suara-suara

dan segala yang berwarna merah

hingga lentera digantung jejer di serambi

dan bambu bakar membuat letusan beruntun.

 

Karanganyar, 2023

Yuditeha, Penulis, tinggal di Karanganyar. Buku puisi terbarunya Kamus Kecil untuk Pendosa (2022).

Source